Rabu, 15 Juni 2011

kONSTRUKSI TEORI EKSPLISIT DAN GAMBARAN IMPLISIT TENTANG KENYATAAN SOSIAL

Dalam beberapa hal, teori-teori ilmiah itu berbeda dari asumsi-asumsi yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan yang secara tidak sadar dimiliki orang. Tujuan utama dari bab ini adalah untuk melihat lebih jauh apa yang ada di balik kesadaran yang sederhana akan teori-teori yang kita ketemukan dalam kehidupan sehari-hari itu, menuju suatu pengetahuan akan perkembangan teori sebagai bagian dari suatu kegiatan ilmiah. Terlepas dari bagaimana eksplisit dan obyektifnya seorang ahli teori itu, asumsi-asumsi implicit dan yang diterima begitu saja (taken-for-granted), tidak dapat dihilangkan seluruhnya. Proses pembentukan teori berlandaskan pada gambaran-gambaran (images) fundamental tertentu mengenai kenyataan sosial. Gambaran-gambaran ini dapat mencakup asumsi-asumsi filosofis dasar mengenai sifat manusia dan masyarakat, atau sekurang-kurangnya pandangan yang mengatakan bahwa ada keteraturan tertentu, atau ada yang dapat diramalkan dalam dunia sosial. Tujuan yang kedua dari bab ini adalah menjelajahi gambaran-gambaran implicit mengenai kenyatan sosial yang mendasari tipe-tipe teori ilmiah yang berbeda satu sama lain. Satu perbedaan yang terdapat diantara gambaran-gambaran implicit mengenai kenyataan sosial adalah tingkatan sosial yang menjadi pusat perhatiannya. Dan tujuan yang ketiga dari bab ini adalah intuk membedakan tingkatan-tingkatan sosial ini.
Kaum "obyektivis" mengemukakan argumentasi bahwa ilmu-ilmu sosial harus menyerupai ilmu-ilmu alam sebanyak mungkin dalam hubungannya dengan asumsi-asumsi dasar serta teknik-teknik metodologisnya. Menurut mereka, hakikat teori apa saja, secara kuat didasarkan pada data empiris yang obyektif. Menurut aliran ini, proses-proses subyektif tidak dapat dimasukan dalam satu teori ilmiah, kalau dinyatakan dalam suatu bentuk prilaku yang dapat diamati. Prioritas pada mengukur prilaku nyata, atau kondisi-kondisi lingkungan, daripada memahami proses-proses subyektif.
Kelompok "subyektivis" menekankan pentingnya perbedaan kualitatif yang mendasar antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Kaum subyektivis mempertahankan bahwa pengamatan-pengamatan atas perilaku nyata (overt behavior) tanpa sadar akan arti subyektifnya tidak berhasil memberikan pemahaman atau penjelasan yang adekuat mengenai perilaku serupa itu. Kedua dimensi subyektif dan obyektif itu ada dalam kenyataan sosial, dan bahwa keduanya harus dihubungkan dengan teori sosiologi. Kenyataan sosial berbeda dari kenyataan dunia fisik, dalam pengertian bahwa kenyataan sosial itu bukan bagian dari lingkungan alam atau fisik, tetapi secara sosial dikonstruksikan melalui komunikasi symbol. Sifat tepat, sistematis, parsimonius (hemat dalam penggunaan istilah tanpa menghilangkan ketepatan artinya, penerjemah), tidak berarti harus mengesampingkan perhatian kita pada aspek subyektif perilaku.

I. KONSTRUKSI TEORI

Komitmen untuk membangun teori sosiologi sebagai seperangkat proposi yang dinyatakan secara sistematis dan saling berhubungan secara logis,yang didasarkan teguh pada data empiris, besar pengaruhnya terhadap para ahli sosiologi yang berkecimpung dalam konstruksi teori formal. Kebanyakan mereka yang terlibat dalam konstruksi teori mencerminkan suatu orientasi neopositivis. Artinya bahwa mereka melihat suatu persamaan yang erat antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam, sehubungan dengan asumsi-asumsi dasarnya, teknik-teknik metodologis, bentuk logis, dan dasar empiris. Karena komitmen mereka untuk mendirikan sosiologi sebagai satu ilmu empiris, kebanyakan mereka mencerminkan satu kebulatan tekat untuk tidak percaya pada konsep-konsep subyektif yang sulit dipahami dan bersifat tidak empiris. Juga banyak dari mereka berpendirian bahwa bentuk logis dari teori itu bersifat deduktif. Khususnya logika deduktif dipergunakan untuk menarik hipotesa-hipotesa tertentu yang dapat diteliti secara empiris dari proposisi-proposisi teoretis yang umum dan lebih abstrak. Pada umumnya mereka yang terlibat dalam konstruksi teori berpegang pada definisi-definisi eksplisit dan formal tentang konsep-konsep, variable-variabel, dan system klasifikasi; prosedur-prosedur yang eksplisit dan formal untuk menghubungkan konsep-konsep dan variable-variabel dalam pernyatanan-pernyataan proposisi; prosedur-prosedur logika formal dalam merumuskan pernyataan-pernyataan proposisi harus bersifat sedemikian rupa sehingga proposisi-proposisi baru dapat ditarik; prosedur-prosedur yang menyangkut operasionalisasi dan pengukuran empiris (khususnya yang bersifat statistik) mengenai konsep-konsep dan variabe-varibel. Komponen-komponen teori yang terdiri dari konsep dan variable, sistem klasifikasi, proposisi, masalah penjelasan kausal, variable independen dan variable dependen, tipe-tipe proposisi, teori sebagai seperangkat proposisi.
1. konsep dan variabel
konsep-kosep merupakan ramuan dasar dan fundamental dalam setiap teori. Suatu konsep adalah suatu kata (atau pernyataan simbol lainya) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok gejala; konsep adalah nama yang kita pergunakan untuk menunjukan dan mengklasifikasikan pencerapan dan pengalaman-pengalaman kita. Menghubungkan suatu nama tertentu dengan suatu benda, pengalaman, atau kejadian adalah langkah pertama yang sangat penting untuk menganalisa dan memahaminya. Selanjutnya sekali konsep-konsep itu dikembangkan, maka konsep-konsep itu dapat membantu memberi struktur pada persepsi orang mengenai fakta. Salah satu alasan mengapa konsep tidak hanya sekedar cerminan fakta pengalaman persepsi kita adalah bahwa konsep-konsep itu secara khas merupakan abstraksi dari pengalaman dan bahwa konsep-konsep itu memungkinkan kita untuk membuat generalisasi dari pengalaman-pengalaman yang khusus. Biasanaya dibedakan antara konsep-konsep yang observable (yang dapat diamati) dan yang construct. Sesuatu yang observable merupakan konsep kalau dia menunjuk pada satu obyek atau peristiwa khusus atau sejenis lainya, yang dapat ditangkap langsung dengan indera. Sedangkan konsep construct adalah yang menunjukan pada hakekat atau proses yang tak dapat diamati secara langsung, tetapi yang eksistensinya disimpulkan dari sesuatu yang dapat diamati atau seperangkat konsep yang juga dapat diamati. Tingkat- abstraksi yang mungkin paling rendah menunjuk pada konsep-konsep yang dasar (primitive) dan konkret.
2. Sistem klasifikasi
Konsep-konsep membentuk suatu dasar yang penting untuk klasifikasi. Sekurang-kurangnya satu konsep membedakan "hal-hal: yang termasuk dalam kelas yang ditunjuk oleh konsep itu dan hal-hal lainya. Dengan menggunakan variable-variabel, mungkin bagi kita untuk mengkategorisasi kasus-kasus yang berbeda dalam gejala-gejala yang ditunjuk oleh konsep itu menurut perbedaan-perbedaan yang penting yang diperhatikanya.Variable-variabel yang terdapat dalam sistem klasifikasi berbeda menurut apakah variable itu memperlihatkan kategori-kategori yang bersifat diskrit (discrete) atau yang bersifat kontinum. Konsep, variable, dan system klasifikasi adalah bahan-bahan mentah yang perlu untuk bangunan teori. Untuk membentuk teori, langkah pertama yang harus diambil adalah mendefinisikan konsep-konsep. Karena begitu banyak konsep yang dipergunakan oleh ahli sosiologi yang dipinjam dari bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka para ahli sosiologi harus menghilangkan ambiguitas, kekaburan dan kesimpangsiuran arti-arti yang berubah-ubah dan macam-macam itu untuk mengembangkan satu definisi yang jelas dan tepat. Selain itu, mungkin perlu juga memperinci pentingnya suatu konsep tertentu untuk mengembangkan implisi-implisinya, menyebutkan contoh-contohnya dan seterusnya.
3. Proposisi
Dalam usaha menentukan komponen-komponen dasar dari teori, kita masuk pada tahap berikutnya, yakni proposi. Proposisi adalah satu pernyataan mengenai satu hubungan antara dua atau lebih konsep, khususnya hubungan antara variable-variabel. Dalam pernyataan-pernyataan serupa itu, kita berada diawal suatu usaha yang secara tentative mencoba menjawab "mengapa". Apa yang ingin kita jawab adalah terutama kita mau mengetahui mengapa satu variable tertentu memiliki suatu nilai tertentu. Metode ilmiah secara baku dipergunakan untuk menjawab pertanyaan diatas adalah mencari suatu variabel yang mempengaruhi variabel pertama. Pernyataan tentang hubungan ini merupakan satu proposisi.
4. Masalah Penjelasan Kausal
Secara ideal, usaha untuk mengembangkan pernyataan-pernyataan proposisi diarahkan ke penjelasan kausal. Tetapi betapapun kita sangat hati-hati untuk begitu saja membuat pernyataan bahwa X menyebabkan Y, sesungguhnya kita mau mengetahui apa yang menyebabkan variasi yang demikian itu. Pernyataan-pernyataan kausal sangat sulit untuk dibuktikan, seperti yang ditunjukan oleh banyak ahli teori dan ahli filsafat. Urutan sebab-akibat menurut waktu berbeda dari kedua pengertain diatas. Yang pertama, akibat mengikuti sebab dalam urutan waktu; yang kedua, sebab nampaknya mengikuti akibatnya. Meskipun para ahli filsafat menemukan kesulitan pengertian sebab-sebab mengikuti akibat-akibatnya dalam urutan waktu, pengertian sebab ini mempunyai arti dalam kasus tindakan yang diarahkan ketujuannya. Perbedaan lain yang oleh ahli filsafat adalah antara sebab yang perlu (necessary) dan sebab yang cukup (sufficient). Singkatnya, suatu pernyataan kausal yang perlu adalah pernyataan mengenai suatu kondisi atau factor (variabel) yang harus ada (atau berubah dalam satu cara tertentu) untuk kondisi yang kedua supaya ada (atau berubah dalam suatu cara tertentu). Meskipun terdapat kesulitan dalam menentukan hubungan kausal yang tegas menggunakan bahasa yang mengandung penyebaban, sekurang-kurangnya dalam pengertian yang longgar mengenai faktor yang ikut menyumbang. Hal ini disebabkan karena kita bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai gejala sosial (meskipun tidak semua penjelasan harus merupakan penjelasan kausal). Penilaian kita mengenai hubungan-hubungan kausal (dalam keadaan tidak ada bukti yang mutlak) cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor kuatnya korelasi antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya, khususnya kalau korelasi itu ditentukan atau dibentuk dalam macam-macam kondisi, logika dan kuatnya argumen yang menghubungkan variabel-variabel itu dalam suatu hubungan kausal, dan arti yang penuh, serta keyakinan subyektif akan proses yang terkandung dalam proposisi itu.
5. Variabel Independen Versus Variabel Dependen
Diskusi-diskusi kita mengenai proposisi sejauh ini sudah menyangkut variabel dependen sebagai variabel yang utama. Artinya, kita mengasumsikan bahwakita mau menjelaskan variasi dalam satu variabel, dan hal ini memungkinkan kita untuk mengidentifikasi variabel independen yang dalam pikiran kita menjelaskan variasi ini. Tetapi juga mungkin untuk mulai dengan variabel independen sebagai variabel utama, dan kemudian menjajagi variabel-variabel lainnya yang dipengaruhi oleh variabel khusus ini. Dengan variabel independen sebagai variabel utama, perhatian diarahkan kepada akibat-akibat atau konsekuensi-konsekuensinay. Sering tipe analisa ini mulai dengan mencatat perubahan dalam suatu variabel, dan kemudian pernyataan-pernyataan ditunjukan ke akibat-akibat yang ditimbulkan perubahan ini. Dalam beberapa proposisi, keputusan mengenai variabel mana yang independen dan mana yang dependen tidak bisa ditentukan dengan pasti. Hal ini sangat jelas kalau hubungannya bersifat saling tergantung. Artinya, setiap variabel mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya; keduanya bekerja sebagai variabel dependen dan independen.
6. Tipe-tipe Proposisi
Proposisi-proposisi saling berbeda satu sama lain dalam beberapa hal yang penting menurut keabstrakan dan generalisasinya, menurut kemampuan tahan ujinya dan tingkatan di mana proposisi-proposisi itu sudah didukung secara empiris. Mereka yang berkecimpung dalam bidang konstruksi teori biasanya membedakan antara tipe-tipe proposisi seperti aksioma, postulat, dan hukum. Proposisi sering dibedakan dari hipotesa dimana hipotesa merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan yang mungkin ada, yang dapat diuji secara empiris, yang berasal dari proposisi yang lebih abstrak.
7. Teori: Seperangkat Proposisi
Sebegitu jauh kita sudah mengidentifikasi konsep, system klasifikasi, dan proposisi sebagai komponen-komponen teori. Konsep merupakan bahan mentah banguna teori yang paling dasar karya teoritis pada tingkatan konseptual mencakup definisi, analisa konseptual, dan prnyataan yang menegaskan adanya gejala empiris yang ditunjuk oleh satu konse (existence statement). Pada tingkatan klasifikasi, karya toritis mencakup pembentukan kategori dan klasifikasi gejala-gejala empiris. Tingkatan berikutnya adalah proposisi yang merupakan pernyataan yang menghubungkan dua atau lebih konsep (variabel). Bentuk konstruksi teori yang bersifat aksiomatis atau deduktif pada intinya mencakup pengaturan proposisi-proposisi dalam satu bentuk hirarkis, dari hukum yang paling umum turun ke hipotesa yang paling spesifik. Proposisi di tingkatkan bawah secara logis berasal dari proposisi tingkatan yang lebih tinggi dan yang lebih umum sifatnya; atau proposisi tingkatan bawah itu merupakan hal-hal yang spesifik daru proposisi yang lebih umum itu.
II. ASUMSI DASAR DAN NILAI

Mencakup gambaran fundamental yang dimiliki ahli sosiologi mengenai pokok permasalahan yang dipelajari dalam sosiologi, pilihan konsep-konsep yang digunakan untuk menggambarkan menganalisa apa yang dipelajari, penentuan masalah tertentu untuk penelitian, dan strategi-strategi yang digunakan dalam proses analisanya.
Nilai mempengaruhi pilihan nyang dibuat seorang ilmiawan, seperti masalah-masalah tertentu atau bidang-bidang yang pantas untuk dipelajari. Teori-teori ilmiah bersandar pada asumsi-asumsi intelektual yang bersifat implicit tentang hakikat dasar dari pokok permasalahan yang mungkin tidak dapat dinyatakan secara formal.
1. Konsep Paradigma
paradigma adalah sesuatu yang terdiri dari pandangan hidup yang dimiliki oleh para ilmuwan dalam suatu disiplin tertentu. Misalnya: Pandangan hidup yang terdapat dalam fisika Newton akan membentuk satu paradigma, sebagai satu pandangan hidup yang bertentangan dengan fisika menurut Einstein.
2. Sosiologi Sebagai Satu Ilmu Multiparadigmatik
Bahwa pelbagai paradigma itu sebenarnya memperlihatkan tingkatan-tingkatan kenyataan sosial yang bersifat alternatif. Menyukai satu paradigma lebih daripada yang lainnya benar-benar merupakan pilihan untuk memusatkan perhatian pada satu tingkatan kenyataan sosial.

III. Multiparadigma Dan Tingkat Majemuk Kenyataan Sosial

Beberapa cara untuk mengklasifikasi pelbagai tingkatan kenyataan sosial yang dapat kita tunjukan sebagai berikut:
1. Tingkat Individual
2. Tingkat Antarpribadi
3. Tingkat Struktur Sosial
4. Tingkat Budaya
IV. Konstruksi Kenyataan Sosial Dan Perkembangan Teori Sosial
Persfektif Berger dan Luckmann mengenai konstruksi sosial atas kenyataan dapat diterapkan pada teori sosiologi, seperti juga pada ciptaan budaya lainnya. Bagi mereka masyarakat itu sendiri dan pelbagai institusinya diciptakan dan dipertahankannya atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar