Jumat, 27 Januari 2012

Diffusion of Innovations, Rogers (2003) INOVASI DI DALAM ORGANISASI

Organisasi bagaikan tanah yang diatasnya inovasi menyebar.
Komentar presiden perusahaan dalam wawancara riset yang dilakukan pengarang


Sampai pada point ini, buku ini sebagian besar berkaitan dengan difusi dari inovasi ke individu. Bagaimanapun banyak inovasi yang diadopsi oleh organisasi. Dalam banyak kesempatan, seseorang tidak bisa mengadopsi suatu gagasan yang baru hingga sebuah organisasi telah mengadopsi sebelumnya. Bab ini membahas sebagian besar perilaku secara kolektif dan keputusan otoritas inovasi, dua jenis keputusan pada sebuah organisasi seringkali ada pada kelompok di mana keputusan inovasi terjadi. Kita mencari perubahan penting dari awal studi dari inovasi organisasi, di mana data telah dikumpulkan secara khusus dari contoh besar organisasi dalam rangka menentukan karakteristik lebih dan lebih sedikit dari inovasi organisasi, untuk menginvestigasi proses inovasi dalam organisasi dengan menggunakan stage model. Studi terakhir menetapkan pengertian penting secara mendalam pada sifat alami proses inovasi dan tingkah laku manusia ketika organisasi berubah.

Seperti proses studi inovasi menekankan tahap implementasi dalam meletakkan suatu inovasi yang digunakan pada suatu organisasi. Studi proses inovasi lebih kearah perbaikan riset difusi sebelumnya, yang secara umum berhenti dengan tiba-tiba dari investigasi implementasi. Sekali waktu suatu organisasi telah membuat suatu keputusan untuk mengadopsi, implementasinya tidak selalu mengikuti secara langsung. Dibandingkan pada proses keputusan inovasi oleh individu, proses inovasi dalam organisasi jauh lebih kompleks. Implementasinya secara khusus melibatkan sejumlah individu, boleh jadi mencakup kedua hal yaitu pemenang dan lawan dari gagasan baru, yaitu tiap orang yang mengikuti aturan main dalam keputusan menginovasi. Lebih lanjut, sejumlah implementasi beradaptasi secara timbal balik pada inovasi dan perubahan organisasi pada cara yang penting.


Jenis – Jenis Keputusan Inovasi

Tiga jenis keputusan inovasi yaitu :
1. Keputusan Inovasi Opsional ( Optional Innovation – Decisions), beragam pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang dibuat oleh seorang individu yang tidak terikat pada keputusan oleh anggota lain dari suatu kelompok. Petani-petani di Iowa mengadopsi hybird seed corn di Ryan and Gross (1943) suatu studi yang membuat opsi keputusan inovasi. Demikian juga dokter umum dalam Coleman and colleagues (1966) yang menyelidiki penyebaran obat baru.

2. Keputusan Inovasi Kolektif ( Collective Innovation-Decisions), bermacam pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang dibuat melalui konsensus di antara anggota pada suatu kelompok. Keputusan sebuah kota untuk mengadopsi aturan pelarangan merokok, dibuat oleh suatu referendum atau melalui suatu ketetapan melalui pemungutan suara dari dewan kota, inilah yang dimaksud dengan keputusan inovasi yang kolektif. Sekali waktu keputusan dicapai, maka masing-masing individu harus melaksanakannya. Sebagai contoh, orang-orang yang merokok di bar, restaurant, atau tempat yang lain (pada sebuah kota yang menerapkan aturan melarang merokok) ditangkap dan didenda.

3. Keputusan Inovasi Otoritas ( Authority Innovation-Decisions), beragam pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang dibuat oleh sebagian kecil orang dalam sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan, status sosial yang tinggi, atau keahlian teknis. CEO dari suatu perusahaan boleh memutuskan, seperti halnya pimpinan eksekutive dari Nokia, The Finnish Company yang dominan dalam memproduksi telepon selular, sehingga tidak ada karyawan perusahaan dapat mengirimkan e-mail ( di luar perhatian untuk keamanan). Keputusan inovasi otoritas ini merupakan satu putusan dimana karyawan pada organisasi ini harus mematuhinya.

Sebagai tambahan, ketidaktentuan keputusan inovasi merupakan beragam pilihan untuk mengadopsi atau menolak yang hanya bisa membuat keputusan inovasi hingga pada batas tertentu. Seperti keputusan dokter untuk mengadopsi suatu prosedur medis yang baru hanya dapat dibuat setelah para dokter rumah sakit telah memutuskan untuk membeli suatu bagian kebutuhan dari peralatan kedokteran. Disinilah suatu keputusan yang opsional mengikuti suatu keputusan yang kolektif. Rangkaian kombinasi lain pada dua atau lebih dari tiga jenis keputusan inovasi juga dapat merupakan keputusan kelompok.


Organisasi

Organisasi merupakan suatu kelompok yang stabil dari orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan umum melalui suatu hirarki dari kedudukan dan sebuah pembagian kerja. Organisasi diciptakan untuk menangani tugas-tugas besar yang rutin melalui suatu pola yang mengatur hubungan manusia. Efisiensinya dimaksudkan seperti membuat usaha manusia pada bagian stabilitas, dimana ini secara relatif berasal dari tingginya tingkatan struktur yang ditentukan pada pola komunikasi. Suatu struktur organisasi dapat diramalkan melalui :

1. Tujuan yang ditentukan (Predetermined Goals). Organisasi secara formal dibentuk dengan maksud yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu. Sasaran hasilnya pada suatu ketetapan organisasi, untuk suatu perluasan yang besar, struktur dan fungsi dari organisasi tersebut.

2. Tugas yang ditentukan (Prescribed Roles). Tugas-tugas organisasi didistribusikan berdasarkan berbagai posisi pada peranan atau kewajiban. Suatu peran merupakan sekumpulan aktivitas yang menjadi tampilan pada kedudukan seseorang dengan posisi tertentu. Posisi merupakan “boxes” pada suatu skema organisasi. Orang-orang boleh datang dan pergi dalam suatu organisasi, tetapi posisi terus berlanjut, seperti halnya perilaku yang diharapkan pada orang yang mengisi posisi ini.

3. Struktur otoritas (Authority Structure). Pada organisasi yang formal, tidak semua posisi mempunyai otoritas yang sama. Sebagai gantinya, posisi disusun dalam sebuah hirarki struktur otoritas yang menetapkan siapa yang bertanggungjawab pada siapa, dan siapa dapat memberi perintah kepada siapa.

4. Aturan dan peraturan ( Rules and Regulations). Secara formal, pembentukan sistem dari penulisan prosedur secara tertulis mengurus/memerintah keputusan dan tindakan oleh suatu anggota organisasi. Aturan ini menentukan prosedur untuk perekrutan individu, untuk promosi, untuk memecat karyawan yang tidak memuaskan, dan untuk mengkoordinir kendali dari berbagai aktivitas agar supaya memastikan operasi yang seragam.

5. Pola teladan informal ( Informal Patterns). Setiap organisasi formal yang ditandai oleh berbagai macam praktek informal, norma-norma, dan hubungan sosial antar anggotanya. Praktek informal ini muncul dari waktu ke waktu dan memenuhi suatu fungsi yang penting dalam organisasi apapun. Meskipun demikian, tujuan dari organisasi yang birokratis adalah mengarah pada depersonalize hubungan manusia sebanyak mungkin dengan menstandardisasi dan menyusunnya.

Dengan organisasi yang stabil, satu kekuatan mengharapkan bahwa inovasi akan bersifat jarang. Sebaliknya, inovasi terus hadir dalam beberapa organisasi. Banyak penghalang dan reaksi untuk berubah ada dalam suatu organisasi, tetapi kita mestinya tidak melupakan inovasi salah satu proses yang pokok dalam perjalanan semua organisasi.
Ahli Sosiologi Jerman Max Weber ( 1958) menguraikan organisasi yang birokratis, seperti pabrik-pabrik, angkatan perang, dan para agen pemerintah, ditandai sebagai suatu format dari pengendalian otoriter yang dia katakan " iron cage." Aturan dibuat dan dipesan oleh individu dari otoritas dan dilaksanakan oleh anggota organisasi yang menerima sistem dari otoritas. Pada mulanya, sistem kendali ini beroperasi secara efisien dan masuk akal, hanya saja efektivitas birokrasi organisasi sering hilang dari waktu ke waktu. Aturan dipaksa berlebihan dan diberlakukan bagi semua kasus di dalam suatu cara yang tidak sesuai dan bukan perseorangan. Para pemimpin yang birokratis menjadi bukan perseorangan, dan rasionalitas dari sistem menghilang lenyap. Meskipun demikian, anggota organisasi, yang terjerat di dalam suatu sangkar besi / setrika dari kendali, berlanjut untuk mendukung sistem kewenangan yang birokratis.

Proses Inovasi Dalam Organisasi

Suatu point penting dalam sejarah riset inovasi dalam organisasi terjadi dengan pengaruh penerbitan suatu buku, Innovations and Organizations, oleh Profesor Gerald Zaltman and colleagues (1973). Pengarang ini menetapkan aspek yang membedakan inovasi ketika berada dalam suatu organisasi. Pada studi ini, variabel utama dependent studi sering menjadi implementasi (meletakkan suatu inovasi ke dalam penggunaan) dibandingkan adopsi ( keputusan untuk menggunakan suatu inovasi). Sampai pada point ini, kebanyakan studi inovasi dan organisasi terfokus pada inovasi organisasi, mengukur adopsi atau nonadopsi dari sekumpulan inovasi oleh suatu contoh organisasi. Setelah awal 1970s, riset pada inovasi dan organisasi cenderung terpusat pada penyelidikan inovasi tunggal dari waktu ke waktu dalam satu atau lebih organisasi. Seringnya studi inovasi merupakan suatu teknologi komunikasi yang baru, seperti sistem e-mail, sistem manajemen informasi, atau beberapa inovasi teknologi berbasis-komputer lainnya. Pastinya teknologi komunikasi yang baru ini sudah memberi hidup yang baru pada riset inovasi dalam organisasi.
Proses inovasi dalam organisasi mengidentifikasi urutan utama tentang keputusan, tindakan, dan peristiwa dalam proses ini. Data tentang proses inovasi diperoleh dari persepsi yang bisa mengingat kunci para aktor proses inovasi, arsip yang tertulis dari organisasi tentang keputusan adopsi, dan lsumber data lainnya.
Sebuah ledakan yang terjadi pada banyaknya studi inovasi dalam organisasi dipublikasikan sejak tahun 1980. Mengapa? Satu alasannya adalah bahwa bisnis perguruan tinggi, terutama sekali pada jurusan manajemen dan organisasi, menjadi sangat tertarik dengan studi proses inovasi tersebut. Sebuah program riset dengan pembiayaan besar pada topik ini, diluncurkan pada sekolah bisnis di Universitas Minnesota tahun 1983. Program ini dipimpin oleh Profesor Andrew H. Van de Ven, yang terdiri dari tigapuluh sarjana yang melaksanakan empat belas studi kasus mendalam dari inovasi teknologi dalam beberapa bidag variasi : industri, pendidikan, pertanian, kesehatan, pertahanan, dan lainnya. Van de Ven dan para rekan kerjanya diikuti suatu kerangka teoritis umum dalam mengumpulkan dan meneliti data mereka pada proses inovasi ( Van de Ven, et.al, 1999).
Alasan penting lainnya untuk menyetujui peningkatan perhatian pada inovasi dalam organisasi adalah berkaitan dengan pengenalan yang tersebar luas tentang teknologi komunikasi baru dalam organisasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya implementasi dari banyaknya inovasi ini telah gagal menyebabkan banyaknya peminat dalam pemahaman yang lebih baik bagaimana cara efektif memperkenalkan teknologi yang berkaitan dengan komputer. Inovasi dalam organisasi telah menjadi pengenalan suatu masalah penting yang dihadapi para manajer organisasi.
Seperti inovasi interaktif ketika e-mail memiliki fungsi keuntungan yang kecil ( dan sering juga pantas dipertimbangkan / disadvantage ) untuk pengguna paling pertama dalam organisasi. Tidak salah lagi, adopter e-mai pertama kali tidak mempunyai siapapun untuk berkomunikasi. Dengan begitu tingkat adopsi untuk teknologi interaktif pada mulanya baru berproses pelan-pelan dalam suatu organisasi, hingga meraih kritikan massa ( lihat Bab 8). Suatu keuntungan intelektual membedakan studi teknologi komunikasi baru yaitu seperti menyelidikipenyediaan jenis data baru dan mengijinkan peneliti untuk mempelajari variabel baru melalui teori yang baru ( Van de Ven and Rogers, 1988). Sebagai contoh, adopsi dari inovasi seperti itu dapat diukur oleh arsip komputer dari tiap tingkatan individu pengguna e-mail, komputer pribadi, dan sebagainya ( Astebro, 1995)..
Asumsi umum dari riset inovasi dalam organisasi yaitu bahwa variabel sikap organisasi pada perilaku inovasi secara berlebihan dan lebih dari jumlah anggota individu dalam organisasi tersebut. Dengan begitu konteks organisasi dari studi proses inovasi ini menambahkan semacam intelektual " supercharger" pada analisisnya (lihat Bab 8). " Organisasi sering dilihat pada riset ini sebagai batasan atau balasan pada inovasi, sedikitnya pada tingkat banyaknya permasalahan pada umumnya ditemui di dalam usaha untuk menerapkan suatu inovasi dalam organisasi. Sebagai alternatif, berbagai kesulitan ini dapat dilihat ketika bukti inovasi tertentu tidak akan cocok baik dengan perasaan masalah organisasi, atau konsekuensi inovasi yang diharapkan dirasa oleh anggota organisasi lebih negatif dibanding hal positif" ( Van de Ven and Rogers, 1988). Maka struktur organisasi tidaklah perlu suatu pengaruh hal negatif pada proses inovasi dalam organisasi.

Adopsi Teknologi Komunikasi baru

Pengertian yang mendalam pada proses inovasi dalam organisasi dapat diperoleh dari riset terbaru difusi dan adopsi teknologi komunikasi yang baru seperti komputer pribadi dan e-mail di perusahaan. Suatu kekuatan mengharapkan bahwa inovasi ini akan sungguh sangat menguntungkan difusinya yang bersifat mudah dan relatif cepat, tetapi sepertinya bukanlah suatu kasus . Teknologi komunikasi baru ini menghadirkan suatu perubahan utama pada tingkah laku manusia, dan memerlukan sangat banyak pembelajaran dan waktu.
Hingga sekitar duapuluh tahun yang lalu, kebanyakan pimpinan memiliki seorang sekretaris untuk mengambil diktat atau mengetik memo dan surat yang ditulis tangan oleh pimpinannya. Saat ini, dengan adanya komputer pribadi, sekretaris dan mesin ketik tidak diperlukan lagi, dan pimpinan mengerjakan sendiri pekerjaannya dengan menggunakan komputer. Dengan adanya e-mail, banyak pesan disampaikan secara elektronik tanpa harus menggunakan kertas. Betapa perubahan penting ini dalam perilaku sehari-hari di kantor terjadi pada tahun terakhir menjadi sejumlah pokok penyelidikan yang menarik. Sebagai contoh, Heikkila ( 1995) menemukan studinya pada Fisnish Company banyak waktu dan usaha yang diperlukan karyawan untuk belajar bagaimana cara menggunakan komputer pribadi, saat itu dia telah mengadopsi teknologi tersebut. Banyak pembelajaran terjadi dari hari ke hari berawal dari teman sekerja yang meminta bantuan. Waktu dalam hitungan bulan diperlukan sebelum karyawan menjadi pandai menggunakan komputer pribadi untuk mengolah kata, e-mail, spreadsheet, dan fungsi yang lain. Sering dalam proses pembelajaran memerlukan 20 atau 25 persen dari waktu karyawan di tempat kerja, seperti halnya usaha yang cukup oleh para rekan kerja mereka untuk membantu mereka mempelajarinya. Banyak tulisan pada masa lalu tentang proses inovasi komputer yang serius meremehkan sejumlah usaha yang membutuhkan guru teknologi ini.
Suatu studi dari 471 para manajer dalam fifty-four U.S. companies menemukan kegelisahan pada komputer merupakan suatu penghalang penting bagi adopsi dan penggunaan komputer pribadi ( Igbaria et al., 1994). Suatu komentar yang khusus yaitu " Aku takut aku sepertinya mungkin merusak komputer." Kegelisahan pada komputer yang akan menimbulkan hubungan negatif pada kesenangan dari penggunaan komputer, dimana pada gilirannya suatu peran bermain penting dalam membantu karyawan dimulai pada belajar bagaimana cara menggunakan peralatan komputer mereka. Dirasa kegunaan komputer enam kali lebih berpengaruh dibanding kesenangan pada penjelasan tingkatan penggunaan komputer. Pelatihan disediakan untuk membebaskan kegelisahan pada komputer, dimana pada gilirannya memimpin ke arah kesenangan dan dirasakan penggunaannya, dengan begitu bagi penggunaan komputer menjadi meningkat. Hanya menyediakan peralatan komputer ke karyawan tidak mungkin mengakibatkan meningkatnya penggunaan komputer kecuali jika pelatihan juga disediakan. Karyawan diperbolehkan untuk bermain kartu dan game komputer lainnya di komputer kantor mereka mungkin merupakan pemanfaatan yang baik dari waktu mereka dan selangkah ke arah pembelajaran bagaimana cara menggunakan peralatan komputernya, saran Igbaria and others ( 1994).
Karyawan kantor mobil Volvo di Gothenburg, Sweden, tidak mengenali komputer pada awal 1980, ketika para eksekutif perusahaan memutuskan untuk mengadopsi komputer pribadi dan e-mail sebagai alat untuk melampaui batas kecepatan arus komunikasi internal, sehingga perusahaan bisa bereaksi dengan cepat ketika memproduksi mobil mode baru. Tahun 1985, karyawan Volvo telah disediakan komputer dan diperintah oleh manajemen untuk mengadopsi Sistem e-mail. Anggota pengguna e-mail meningkat cepat dari 18 persen menjadi 40 persen, walaupun banyak orang benar-benar menggunakan e-mail yang sama. Karyawan lebih menyenangi dan alternatif biaya yang murah dengan penggunaan e-mail, seperti telepon dan internal mail, dan sebagian lagi menentang penggunaan e-mail. Secara berangsur-angsur, dukungan kuat dari pimpinan tertinggi Volvo mulai meningkatkan tingkat adopsi, ketika itu. Hal paling berpengaruh pada proses inovasi adalah peran dari tingkatan para manajer departemen dan masing-masing panutan karyawan. Juga, dibentuknya pusat dukungan pada setiap departemen untuk membantu karyawan mempelajari bagaimana cara menggunakan komputer dan e-mail. Pelatihan ini dan unit pendukungnya mendukung penggunaan dari teknologi komunikasi baru tersebut.
Pada akhir periode 5 tahun, kebanyakan dari 7,400 karyawan Volvo menggunakan e-mail secara reguler. Seperti di Ryan and Gross ( 1943) studi hybird seed corn dan ribuan penyelidikan difusi lainnya yang dilaksanakan, kita melihat bahwa proses pembauran memerlukan suatu periode waktu yang yang patut dipertimbangkan. Proses inovasi tidak terjadi dengan segera, bahkan ketika seorang para pemimpin organisasi benar-benar menuju teknologi komunikasi yang baru.


Langkah-Langkah Proses Inovasi

Proses inovasi terdiri dari urutan lima langkah, dua di inisiasi subprocess dan tiga di implementasi subprocess. Langkah-Langkah selanjutnya di proses inovasi tidak bisa dikerjakan sampai langkah-langkah yang lebih awal telah diselesaikan dengan tegas atau secara implisit. Dua hal pertama dari lima langkah di proses inovasi, agenda-setting and matching, pembentukan inisiasi bersama-sama (together constitute initiation), menggambarkan kumpulan semua informasi (defined as all of the information gathering), conceptualizing, dan perencanaan untuk mengadopsi suatu inovasi, mengarahkan keputusan untuk mengadopsi.

1. Agenda-Setting

Agenda-Setting terjadi ketika suatu masalah umum organisasi digambarkan dalam menciptakan rasa kebutuhan pada suatu inovasi. Proses Agenda-Setting secara terus-menerus dalam perjalanan di tiap-tiap sistem, menentukan apa sistem itu akan pertama kali bekerja, berikutnya, dan selanjutnya. Agenda-setting adalah cara yang ditempuh dimana kebutuhan, permasalahan, dan isu meluap melalui suatu sistem dan diprioritaskan dalam suatu hirarki untuk diperhatikan ( Dearing and Rogers, 1996). Tahapan Agenda-Setting pada proses inovasi dalam suatu organisasi terdiri dari ( 1) identifikasi dan priorotas kebutuhan dan masalah ( 2) mencari lingkungan organisasi untuk menempatkan penggunaan potensial inovasi dalam menemukan permasalahan organisasi.
Tahapan Agenda-Setting memerlukan batasan periode waktu, hingga beberapa tahun. Studi kasus dari proses inovasi yang dilaksanakan oleh Program Riset Inovasi Minnesota mendorong kesimpulan bahwa " Inovasi tidaklah dimulai secara mendadak, maupun oleh sebuah peristiwa yang dramatis, maupun oleh satu pengusaha" (Schroeder et al., 1989).
Agenda-Setting berawal pada urutan dari proses inovasi, sebab di sinilah motivasi awal dihasilkan untuk mendorong langkah selanjutnya pada proses inovasi. Dalam tahapan agenda-setting, satu atau lebih individu di suatu organisasi mengidentifikasi suatu masalah penting dan kemudian mengidentifikasi suatu inovasi dengan maksud untuk mengatasi permasalah tersebut.
A performance gap adalah pertentangan antara suatu harapan organisasi dan pencapaian sebenarnya. Perbedaan ini antara bagaimana suatu anggota organisasi merasakan pencapaiannya, di dalam perbandingan pada apa yang harusnya mereka rasakan, bisa merupakan suatu daya dorong yang kuat untuk mencari suatu inovasi. Penyamarataan 10-4: A performance gap dapat menimbulkan proses inovasi. Program Riset Inovasi Minnesota menunjukkan bahwa dalam banyak kasus suatu goncangan pada organisasi yang dicapai suatu permulaan perhatian dan didorong ke arah tindakan oleh peserta organisasi. Goncangan ini, sering disebabkan oleh konfrontasi pribadi langsung dengan terpaksa atau permasalahan, yang dipimpin suatu organisasi untuk memulai proses inovasi tersebut ( Schroeder et al., 1989).
Kebanyakan organisasi terlibat dalam suatu pengawasan yang oportunis dengan membaca lingkungan sekilas untuk gagasan baru yang mungkin bermanfaat bagi organisasi tersebut. Pada Maret ( 1981) dicatat, ”inovasi di dalam organisasi " sering terlihat mengemudikan lebih sedikit permasalahan dibandingkan solusi. Jawaban sering mendahului pertanyaan." Kebanyakan organisasi menghadapi berbagai permasalahan, tetapi memiliki pengetahuan hanya sedikit inovasi yang menawarkan solusi. Sehingga kesempatan dari mengidentifikasi suatu inovasi untuk mengatasi masalah tertentu adalah relatif kecil: Tetapi jika anggota organisasi mulai dengan solusi yang diinginkan, ada suatu kesempatan yang baik bahwa inovasi akan menemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh organisasi itu. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan organisasi yang secara terus-menerus meneliti inovasi dan menemukan suatu perjanjian inovasi dengan salah satu dari permasalahan yang relevan.
Kadang-Kadang pengetahuan dari suatu inovasi, bukannya pengenalan dari suatu masalah atau kebutuhan oleh organisasi yang mendorong ke arah pencarian suatu solusi, membuat proses inovasi itu. Sebagai contoh, suatu penyelidikan dari fortythree adopsi dari inovasi yang terkait dengan komputer di tiga korporasi besar oleh Wildemuth ( 1992) menemukan suatu identifikasi yang masuk akal dari permasalahan organisasi pada tahapan agenda-setting tersebut. Pencarian inovasi untuk ditemukan terpaksa (mempertemukan langkah) tidak terjadi. " Sebagai gantinya, peserta mengambil suatu pendekatan yang oportunis kepada pengadaan perhitungan sumber daya. Sebelum pembelian dari perangkat keras dan lunak, tidak ada hubungan yang spesifik untuk penggunaannya" ( Wildemuth, 1992). Seperti yang kami jelaskan dalam Bab 5 untuk seseorang –tingkatan inovasi – proses keputusan, terkadang membutuhkan kumpulan proses inovasi dalam suatu organisasi, dan terkadang pengetahuan inovasi menciptakan suatu kebutuhan untuk itu.
Berdasarkan analisa dari bagaimana hukum keamanan lalu lintas baru telah dilewati U.S Senate, Jack Walker ( 1977) menyimpulkan, " Mereka yang mengatur untuk membentuk agenda yang legislatif... bisa mempengaruhi mereka berulang kali dengan menentukan fokus dari perhatian dan energi Pada keseluruhan proses politik." Menentukan agenda untuk inovasi dalam suatu organisasi adalah sangat kuat.

2. Matching

Matching digambarkan sebagai langkah pada proses inovasi di mana suatu masalah dari agenda organisasi cocok dengan suatu inovasi, dan kecocokan ini direncanakan dan dirancang. Pada langkah yang kedua ini pada proses inovasi, konseptual matching masalah dengan terjadinya inovasi dalam rangka menetapkan seberapa baik mereka cocok. Faktai yang menguji, anggota organisasi mencoba untuk menentukan kelayakan dari inovasi dalam memecahkan masalah organisasi. Perencanaan seperti itu memerlukanantisipasi manfaat, dan permasalahan, dimana inovasi akan menghadapi itu ketika diterapkan. Pengambil keputusan organisasi harus menyimpulkan bahwa inovasi merupakan mismatched dengan masalah itu. Keputusan ini memimpin ke arah penolakan, mengakhiri proses inovasi sebelum mengimplementasi gagasan baru.
Yang secara efektif mempertemukan suatu inovasi dengan suatu kebutuhan organisasi yaitu mencoba apakah gagasan yang baru didukung dari waktu ke waktu. Tingkatan kecocokan adalah satu jenis kecocokan dari inovasi ( lihat, Bab 6). Goodman and Steckler ( 1989) menemukan iya atau tidaknya suatu inovasi " menemukan rumah" dengan mencocokkan suatu kebutuhan atau suatu program yang pada organisasi kesehatan yang rumit ketahapan selanjutnya.
Nilai keputusan yang cocok menandai batas air pada proses inovasi antara inisiasi dan implementasi, semua peristiwa, tindakan, dan keputusan yang dilibatkan dalam meletakkan suatu inovasi ke dalam penggunaan. Subproses implementasi terdiri dari tiga tahapan, yaitu : redefining/restructuring, menjelaskan (clarifying), dan routinizing.

3. Redefining / Restructuring

Pada tahap ini, inovasi diimport dari luar organisasi yang secara berangsur-angsur mulai menghilangkan karakter asingnya. Redefining/Restructuring terjadi ketika inovasi ditemukan kembali agar supaya mengakomodasi kebutuhan organisasi dan lebih pada pendekatan struktur, dan ketika struktur organisasi dimodifikasi untuk mencocokkan dengan inovasi tersebut.
Kedua hal yaitu inovasi dan organisasi diharapkan untuk berubah, sedikitnya sampai taraf tertentu, sepanjang tahapan redefining/restructuring proses inovasi. Bagaimanapun, suatu studi dari beberapa inovasi di tiga organisasi oleh Tyre and Orlikowski ( 1994) menemukan bahwa hanya suatu ringkasan dari kesempatan hidup dalam suatu organisasi selama inovasi bisa dimodifikasi. Sesudah itu, inovasi dengan cepat bersifat rutin dan ditempelkan pada struktur organisasi dan tidak mungkin untuk berubah lebih lanjut.

4. Clarifying

Clarifying terjadi ketika inovasi memasuki penggunaan yang lebih tersebar luas dalam suatu organisasi, sehingga pengertiani dari gagasan baru secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas bagi anggota organisasi. Implementasi Too-Rapid dari suatu inovasi tahapan clarifying dapat mendorong kearah hasil yang celaka. Suatu ilustrasi dari ketergesaan yang tidak pantas dalam menerapkan inovasi disajikan oleh Santa Monica Freeway Diamond Lane dalam penelitiannya di Los Angeles..
Suatu contoh yang agak serupa pada ketergesaan yang mendorong ke arah penolakan terjadipada aturan pelarangan merokok di Alamogordo, New Mexico tahun 2002. Isu utamanya, seorang anggota dari dewan kota, yang didorong untuk segera mengusulkan peraturan pelarangan merokok. Isterinya, pengacara kuat anti-smoking, yang mendukung suaminya untuk membawa usulan kebijakan tersebut. Alamogordo adalah sebuah kota yang secara relatif kecil, dan kebanyakan masyarakatnya membingkai isu yang bukan sebagai sesuatu kesehatan masyarakat ( bahaya kesehatan dari pihak kedua perokok dibuktikan dengan riset ilmiah) tetapi lebih sebagai pelanggaran dari hak individu. Bebasnya mengemukakan pendapat di Alamogordo menimbulkan tuntutan: " Apa pemerintah kota mempunyai hak untuk melarang aku untuk merokok jika aku menginginkannya?" Lebih lanjut, demo pelarangan merokok bersatu dengan kota yang berdekatan, Las Cruces. Aktivitas ini telah dihormati ketika gangguan campur tangan tidak dikehendaki dan kemarahan anggota dewan kota Alamogordo. Mereka dengan segera menolak membersihkan ordonansi udara dalam rumah ( Rogers, Peterson, dan Mcowiti, 2002).
Beberapa bulan kemudian, isu telah ditempatkan pada pemungutan suara dalam sebuah referendum dan ditutup .
Kesalah pahaman atau efek samping tidak dikehendaki dari suatu inovasi boleh terjadi. Tindakan korektif dapat diambil untuk menghindari permasalahan seperti itu.

5. Routinizing

Routinizing terjadi ketika suatu inovasi menjadi satu dengan aktivitas yang reguler dari organisasi dan menghilangkan terpisahnya identitas. Pada point inilah, proses inovasi diselesaikan. Routinizing tidaklah mudah dan terus terang seperti terlihat menjadi sekilas pandangan pertama.
Riset yang pantas dipertimbangkan telah dilaksanakan pada tahun terakhir secara berlanjut, suatu konsep yang berhubungan erat pada routinizing, menggambarkan sebagai tingkatan dimana suatu inovasi berlanjut untuk digunakan setelah usaha awal untuk menjamin adopsi dapat diselesaikan. Pertimbangan intervensi riset yang dilaksanakan organisasi kesehatan, di mana suatu program baru diperkenalkan dan dievaluasi. Setelah proyek riset diselesaikan dan keahlian akhir dan pembiayaan khusus, program inovasi berlanjut, atau berhenti? Keputusan ini mengenai keberlanjutan adalah panggilan " institusi" dengan beberapa sarjana ( Goodman and Steckler, 1989)..
Satu faktor penting dalam menjelaskan tingkatan dimana suatu inovasi didukung oleh suatu organisasi adalah keikutsertaan, yang digambarkan sebagai tingkatan bagi anggota dimana dari organisasi yang terlibat pada proses inovasi ( Green, 1986). Jika banyak dari suatu anggota organisasi mengambil bagian dalam merancang, mendiskusikan, dan menerapkan suatu inovasi, keberlanjutannya lebih mungkin dari waktu ke waktu. Jika keputusan inovasi merupakan suatu keputusan otoritas, dengan hanya satu atau beberapa individu yang kuat, keseluruhan, dan jika otoritas ini terjadi untuk meninggalkan organisasi tersebut, keberlanjutan dari inovasi berhadapan dengan resiko. Keputusan Inovasi kolektif pada umumnya mempunyai keberlanjutan yang lebih besar dibandingkan keputusan inovasi otoritas, terkait dengan keikutsertaan yang lebih luas pada mereka.

Baca selengkapnya......

Jumat, 13 Januari 2012

MANAJEMEN PERUBAHAN

Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif Masalah dalam perubahan
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.

Mengapa perubahan ditolak ?
Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.

Resistensi Individual
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.
KEBIASAAN . Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.

RASA AMAN
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.

FAKTOR EKONOMI
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur.

TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.

PERSEPSI
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.

Resistensi Organisasional
Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan.

INERSIA STRUKTURAL
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu.

FOKUS PERUBAHAN BERDAMPAK LUAS
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.

INERSIA KELOMPOK KERJA
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.

ANCAMAN TERHADAP KEAKHLIAN
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar.

ANCAMAN TERHADAP HUBUNGAN KEKUASAAN YANG TELAH MAPAN.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.

ANCAMAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?.

Taktik Mengatasi Penolakan Atas Perubahan
Coch dan French Jr. mengusulkan ada enam taktik yang bisa dipakai untuk mengatasi resistensi perubahan
1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.

2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan

3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.

4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka

5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.

6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan.

Pendekatan dalam Manajemen Perubahan Organisasi
Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent . Kalau digambarkan modelnya menjadi seperti di bawah ini.

Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui strategi yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit.

Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.

Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.

Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.(di Sadur dari Hasan Mustafa, 2001)

Baca selengkapnya......

MATERI KULIAH MANAJEMEN HUMAS (OPINI PUBLIK)

PERTEMUAN KE DUA MANAJEMEN HUMAS (OPINI PUBLIK)

Baca selengkapnya......

Perkembangan Industri MICE

Berawal dari suksesnya Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pada tahun 1955, mulai disadari pentingnya memiliki Sumber Daya Manusia yang handal dalam mengorganisir penyelenggaraan Konvensi, baik tingkat Nasional maupun Internasional. Namun demikian, baru pada tahun 1991 melalui KepMen Parpostel No. KM.108/HM.703/MPPT-91, dan Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep-06/U/IV/1992 pemerintah menerapkan tata laksana Ketentuan Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran atau dalam istilah lain disebut Meeting, Incentive, Convention and Exhibition (MICE). Sejak saat itu industri MICE di Indonesia berkembang cukup pesat, dengan munculnya perusahaan yang bergerak sebagai Professional Convention Organizer (PCO), Professional Exhibition Organizer (PEO) maupun Event Organizer lainnya. Seiring dengan perkembangan industri MICE, kebutuhan Sumber Daya Manusia yang kompeten di bidang tersebut semakin tinggi. Namun, hingga saat ini belum ada lembaga pendidikan formal yang menawarkan program studi yang terkait dengan kebutuhan tersebut, sehingga pemenuhan kebutuhan SDM diambil alih oleh bidang- bidang lain. Kemampuan menyelenggarakan event hingga saat ini diperoleh secara otodidak, seperti karyawan PCO dan PEO yang mendapatkan kemampuan penyelenggaraan event melalui proses learning by doing.
Dengan memiliki lembaga pendidikan yang menawarkan program studi Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran (MICE), diharapkan Indonesia akan memiliki SDM yang handal di bidang tersebut dan mampu bersaing dengan SDM dari negara lain. Di masa yang akan datang dengan kompetensi SDM yang handal di bidang MICE, Indonesia dapat menjadi negara utama tujuan wisata konvensi, perjalanan insentif dan pameran bagi delegasi dari berbagai negara.
Dengan dasar pemikiran di atas Politeknik Negeri Jakarta (dahulu Politeknik Universitas Indonesia) satu2nya PTN di Indonesia yang telah membuka program studi baru yaitu Program Studi Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran (MICE).

B. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA MICE
Sumber daya manusia di bidang MICE dibutuhkan dengan kualifikasi yang memenuhi standard kompetensi sebagai berikut :
1) Mampu merencanakan & menyusun proposal event & bid
2) Mampu menyusun acara untuk konferensi/events
3) Mampu merancang, menerapkan & mengevaluasi rencana kegiatan sponsorship
4) Mampu menyusun, menerapkan & memonitor sistem dan prosedur manajemen event
5) Mampu mengkoordinasi kegiatan registrasi bagi delegasi di lokasi event
6) Mampu menyediakan/melaksanakan pelayanan yang memadai pada saat event berlangsung
7) Mampu memproses & memonitor pelaksanaan registrasi pada saat event
8) Mampu menyelenggarakan kegiatan ramah tamah (function)
9) Mampu merencanakan & mengkoordinir kegiatan budaya

C. GAMBARAN JUMLAH KEBUTUHAN TENAGA KERJA BIDANG MICE
Saat ini jumlah perusahaan penyelenggara kongres/konvensi maupun pameran (professional convention organizer maupun professional exhibition organizer) yang memiliki lisensi di Indonesia berjumlah 70 perusahaan. Perusahaan tersebut tergabung dalam Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia (AKINNDO/INCCA) maupun Asosiasi Perusahaan Penyenggara Pamrean Indonesia (ASPERAPI).
Setiap penyelenggaraan event oleh perusahaan-perusahaan tersebut akan menghasilkan efek multiplier bagi bidang usaha lain, seperti: Hotel, Biro Perjalanan Wisata, Penerbangan, Restaurant, Tempat-tempat Wisata, Pusat-pusat Perbelanjaan (Gambar 1). Dengan demikian bidang-bidang bisnis yang terkait dengan penyelenggaraan event (MICE) juga membutuhkan SDM yang menguasai kompetensi bidang tersebut.
Pihak industri maupun asosiasi bidang MICE seperti INCCA & ASPERAPI menemui kesulitan untuk menyebutkan secara definitive jumlah kebutuhan SDM di bidang ini. Namun berdasarkan efek multiplier dari kegiatan MICE nampak kecenderungan memberi gambaran kebutuhan SDM yang menguasai bidang ini besar. Kebutuhan tersebut semakin tinggi bila diperhitungkan pula bahwa kemampuan menguasai kompetensi di bidang MICE juga mendorong seseorang untuk berwirausaha, terbukti jumlah Event Organizer saat ini semakin meningkat.

Pihak yang secara langsung terkait dengan penyelenggaraan MICE antara lain;
1. Professional Convention Organizer (PCO)
2. Professional Exhibition Organizer (PEO)
3. Hotel
4. Biro Perjalanan Wisata (BPW)
5. Biro Konvensi

Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai sumber di lingkungan industri MICE, di antaranya dengan Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia (AKKINDO/INCCA), Asosiasi Pengusaha Pameran Indonesia (ASPERAPI), Biro Konvensi Jakarta, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia serta beberapa Event Organizer.
PROYEKSI PASOKAN
Selama ini kebutuhan Sumber Daya Manusia di Industri MICE diperoleh dari SDM dengan latar belakang pendidikan non MICE, karena belum ada lembaga pendidikan di dalam negeri yang membuka program studi tersebut. Menurut Sekjen Asosiasi Kongres & Konvensi Indonesia, hampir 90% SDM di industri MICE memperoleh kemampuan mengelola event secara otodidak, sehingga dibutuhkan pengalaman & tambahan training untuk meningkatkan kemampuan SDM tersebut agar memenuhi kompetensi yang diharapkan tabel berikut memperlihatkan proyeksi pasokan SDM di Industri MICE. Kebutuhan SDM MICE tahun 2004 dan sebelumnya dipenuhi dari SDM non MICE, sementara proyeksi 2005 dan seterusnya diasumsikan dipenuhi oleh lulusan program D IV MICE Politeknik .
D. SUMBER MASUKAN PROGRAM
Pengembangan program studi usaha jasa konvensi, perjalanan insentive & pameran (MICE) akan bersumber pada kebutuhan industri sehingga masukan untuk kurikulum, kegiatan belajar mengajar, praktek kerja dan praktisi sebagai tenaga pengajar juga akan diperoleh dari dukungan industri MICE melalui kerja sama dengan Asosiasi Konggres dan Konvensi Indonesia (AKKINDO) atau Indonesia Conggress and Convention Assosiation (INCCA).
E. STUDI JUMLAH MINAT CALON MAHASISWA
Pada awalnya program studi usaha jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran (D4) merupakan program yang dirancang untuk menampung lulusan D3. dan Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan, bahwa Penyeleksian minat calon mahasiswa lulusan D3 yang akan melanjutkan ke program MICE,Data di atas diperoleh berdasarkan jumlah lulusan D3, baik lulusan Politeknik Negeri Jakarta maupun lulusan program D3 lainnya di wilayah DKI Jakarta selama 5 tahun cukup banyak peminatnya.
F. KEBERLANJUTAN PROGRAM
Program Studi MICE yang diusulkan dan disetujui merupakan satu-satunya di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. Sehingga Program Studi ini sangat berpotensi untuk menerima calon mahasiswa yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia bahkan dari negara tetangga. Sementara itu lulusannya diserap oleh industri MICE di seluruh Indonesia terutama semenjak pemerintah mencanangkan 10 kota sebagai daerah tujuan wisata konvensi yaitu; Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Makasar, Menado, Padang, Surabaya, Medan, Batam. Kerja sama dengan Asosiasi Konggress dan Konvensi Indonesia yang bersedia mengupayakan sertifikasi tingkat nasional dan internasional menjadikan lulusan dapat pula diserap oleh industri konvensi negara-negara lain di dunia.
Kondisi di atas akan dapat menjamin keberlanjutan dari program studi MICE ini untuk semakin berkembang.
G. KURIKULUM
Kurikulum dirancang dengan dasar kompetensi yang diharapkan industri untuk SDM bidang MICE. Penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan pihak industri yang diwakili oleh Asosiasi Konggres & Konvensi Indonesia (AKKINDO). Asosiasi tersebut merupakan wadah dari perusahaan-persahaan yang mendukung terselenggaranya kegiatan MICE, di dalamnya terdiri dari;
- Industri Perhotelan & Restaurant
- Professional Convention Organizer
- Biro Konvensi
- Biro Perjalanan Wisata
- Convention & Exhibition Center
- Perusahaan pendukung lainnya seperti; penyedia fasilitas Audio Visual, kontraktor pembangun stand pameran, penyedia jasa PR Event, Pusat Perbelanjaan.
Kurikulum dirancang bersama dengan Pihak Industri Pengguna Jasa Lulusan (Industri MICE) dengan basis kompetensi industri tersebut. Hasil rancangan kurikulum tersebut memungkinkan proses belajar mengajar dapat dilaksanakan dalam 2 (dua) semester dengan masa perkuliahan per semester adalah 16 minggu.

Baca selengkapnya......

Meeting, Incentive, Convention & Exhibition (MICE )

memang merupakan istilah yang terdengar asing. Agak sulit mencari padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia. Namun keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. KM.108/HM.703/MPPT-91 menyebutkan MICE dengan istilah usaha jasa konvensi, perjalanan Insentif dan Pameran. Apabila diartikan secara terpisah kata perkata dalam MICE, berdasarkan keputusan Meparpostel tersebut di atas pengertian MICE tersebut adalah : - Konvensi : Suatu kegiatan berupa pertemuan sekelompok prang (seperti; negarawan, usahawan Cendekiawan, dan sebagainya) untuk membahas masalah-masalah kepentingan bersama.
- Perjalanan Insentif : Suatu kegiatan perjalanan yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan untuk para karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan penghargaan atas prestasi mereka dalam kaitan penyelenggaraan konvensi yang membahas perkembangan kegiatan perusahaan yang bersangkutan
- Pameran : Suatu kegiatan untuk menyebarluaskan informasi dan promosi yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan konvensi atau yang ada kaitannya dengan pariwisata.
b. Segmentasi Pasar dalam MICE
Segmen pasar MICE tersebut adalah masuk dalam kelompok yang berasal dari :
1) Government (pemerintah)
2) Association ( Asosiasi / Perserikatan)
Jenis-jenis Asosiasi antara lain :
a) Trade & Profesional Acociations
b) Medical & Scientific Societies
c) Religius Organizations
d) Educational Associations
e) Labor Unions

Ada pun jenis-jenis kegiatan / event yang umumnya diadakan oleh asosiasi antara lain adalah:
1) Annual Conventions
2) Board Committee Meetings
3) Seminar & Workshop
4) Profesional & Technical Meetings
5) Fund – Raisers.

2. Corporate
Sementara itu dilihat luas dan lingkup wilayah, segmen pasar bisa dibagi menjadi 3 kategori :
a. Kategori Internasional, terdiri dari

1. Internasional Governmental Organizers (IGOs)
2. Internasional Non- Governmental Organizers (INGOs)
3. Multinational Business Concerns

b. Kategori Nasional terdiri dari :

1. National Provincial and Local Associations
2 National and Local Business Concerns

c. Kategori Tambahan terdiri dari :

1. Incentive Meeting
2. Exhibition
3. Non – MICE Product.

Baca selengkapnya......

KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF TEORI PERTUKARAN SISTEM GADUH SAPI

“Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu” (Macionis 1987, dalam Sztompka).
Hampir disetiap masyarakat selalu mengalami perubahan. perubahan-perubahan yang terjadi bisa disadari ataupun tidak, artinya ada sebagian perubahan yang kurang menarik sehingga tidak disadari bahwa terjadi perubahan. Perubahan tersebut bisa berjalan sangat cepat maupun lambat.
Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat bisa mengenai nilai-nilai sosial pola-pola prilaku, lembaga-lambaga, kemasyarakatan lapisan-lapisan di dakam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.
Pada intinya bahwa perubahan sosial (Social exchange) adalah segala perubahan pada lembaga-lambaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Konsep dasar perubahan sosial mencakup tiga gagasan: (1) perbedaan; (2) pada waktu yang berbeda; (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka, 2005)
Banyak teori-teori sosial yang mengkaji secara mendalam tentang perubahan sosial, modernisasi, teori fungsional structural, teori ketergantungan, penyadaran, interkasi, teori pertukaran dan sebagainya.
Salah satu teori sosial yang akan dibahas adalah teori pertukaran. Pertukaran merupakan cara yang paling ampuh dalam mememnuhi kebutuhan serta keinginan dari berbagai macam kelompok/masyarakat ataupun pribadi yang berbeda-beda, dalam pertukaran ini kadang-kadang ada sebagian pihak yang ingin merasa diuntungkan dalam pertukaran ini. Contoh yang paling aktual adalah antara majikan (perusahaan) dengan buruh/karyawannya, ataupun petani dengan pedagang.
Tetapi dalam pertukaran, adapula yang sama-sama untung, artinya bahwa pertukaran disini berjalan dengan baik. Salah satu penunjang keberhasilan pertukaran ini adalah adanya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak.
Komunikasi sangat berperan penting dalam kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak lepas dari komunikasi, komunikasi dapat memainkan peran yang sentral dalam perubahan ini, apakah dibawa kedalam jurang perubahan yang negatif atau dibawa kepada perubahan yang bersifat positif.
Pada makalah ini akan mengkaji komunikasi dalam perspektif teori pertukaran dengan membahas Sistem gaduh sapi di kota Salatiga terutama yang berkenaan dengan sistem gaduh (bagi hasil) dan manfaatnya. Pendekatan teori pertukaran Homans digunakan untuk melihat relevansinya. Menurut Homans yang menganalisa perilaku sosial pada jenjang sosiologi mikro, semua interaksi menusia melibatkan pertukaran, yaitu pertukaran antara imbalan (reward) dan biaya (cost).
Manusia pada dasarnya melakukan aktivitas melihat dari sudut pandang imbalan dan cost, dimana setiap manusia akan berfikir serta berjuang untuk mengurangi ongkos dan memaksimalkan keuntungan.
Studi Kasus SISTEM GADUH SAPI DIKOTA SALATIGA

”Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Salatiga akan mengedrop puluhan ternak sapi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Dusun Ngronggo, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Salatiga. Keberadaan sapi di TPA diharapkan dapat mengurangi sampah organik rumah tangga. Rencananya, untuk tahap pertama, jumlah sapi yang akan dipelihara di lokasi tersebut sebanyak 50 ekor dan diserahkan kepada pemulung dengan sistem gaduh”
Salah satu kendala terbesar apabila kita hendak beternak, terutama beternak sapi adalah dana. Ketiadaan dana ini banyak orang-orang atau peternak bingung untuk mencari dana, banyak para peternak tersebut berupaya untuk memimjam kepada bank, perum penggadaian ataupun sumber dana lainnya, tetapi sulit untuk mendapatkan pinjaman yang dapat mencukupi kebutuhannya. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh oleh peternak adalah dengan sistem gaduh sapi.
Selain itu orang-orang yang hendak beternak tetapi tidak punya waktu dan tempat bisa menggunakan sistem ini, selain itu untuk pemerintah dengan menggunakan sistem ini dapat meningkatkan taraf hidup para peternak.
Gaduh merupakan istilah kerjasama ternak, dalam sistem ini dikembangkan sistem bagi hasil, biasanya jenis ternak yang akan ternakan adalah sapi, kerbau atau kambing.
Adapun sistem tersebut adalah investor yang mempunyai dana/uang membeli ternak (sapi) yang masih muda, lalu para investor tersebut dapat menitipkan sapinya kepada si pemelihara, dengan kesepakatan yang telah disepakati kedua belah pihak, si ternak (sapi) dibesarkan dan dikawinkan sampai mempunyai anak. Anak-anak sapi itulah hasil gaduh, aturannya adalah biasaya anak pertama sapi jadi milik investor, anak kedua milik si pemelihara dan begitu seterusnya. Selain itu bisa pula, apabila si sapi sudah besar lalu dijual, keuntungan dari selisih harga beli dengan harga jual ternak tersebut lalu dibagi antara investor dan pemelihara
Menurut Homans yang menganalisa perilaku sosial pada jenjang mikro bahwa semua interaksi manusia melibatkan pertukaran, yaitu pertukaran antara imbalan (reward) dan biaya (cost), dalam konteks sistem gaduh sapi interaksi antara investor dan pemelihara melibatkan pertukaran. Si investor menyerahkan uang atau sapi kepada si pemelihara, lalu si pemelihara merawat sampai besar/beranak hingga didapatkan hasilnya.
Sistem gaduh sapi terlebih dahulu dilakuakan perjanjian atau transaksi yang biasanya tidak tertulis atau dengan sistem kepercayaan.
Dalam pendekatan pertukaran seperti yang dinyatakan oleh wood (1982) dalam Liliweri (1994) terjadi dalam sistem gaduh sapi. Proses komunikasi antarpribadi dimulai dari kebutuhan dari pihak investor untuk menitipkan serta memelihara sapinya kepada si pemelihara. Pihak investor maupun pemelihara sebelum melakukan pertukaran terlebih dahulu akan mencari informasi tentang masing-masing pihak. Apabila sapi yang akan dipelihara sampai punya anak mungkin jelas pembagiannya, tetapi apabila sapi yang sudah besar tersebut akan dijual, mungkin pembagiannya yang akan di perjelas antara kedua belah pihak. Jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan dalam proses pertukaran ini maka sebaiknya jangan diteruskan.
Sistem gaduh ini sudah dijalankan dari dahulu, sistem ini bisa berjalan karena tingkat kepercayaan yang tinggi antara investor dengan pemelihara, terutama di pedesaan yang interaksi sosial yang masih kental. Setelah sistem gaduh sapi ini dijalankan, investor dan pemelihara biasanya akan mendapatkan keuntungan yang sama rata.
Sekarang, sistem gaduh ini diteliti lebih lanjut oleh ahli ekonomi syariah. sistem yang sudah jalan secara tradisional itu coba dibakukan aturan mainnya, dilembagakan, kesepakatan dibuat kontrak tertulis, lengkap dengan saksi tokoh masyarakat setempat, MOU dibuat dengan bahasa sederhana yang gampang dimengerti, memberi rasa keadilan pada masing-masing pihak, termasuk di dalamnya apabila terjadi resiko ternak mati waktu dipelihara. beberapa aturan syariah juga mulai disosialisasikan, antara lain komoditas yang dijadikan obyek muamalah bukan barang haram (misalnya ternak babi), tidak boleh ada pihak yang merasa dizalimi, tidak ada unsur spekulasi, tidak ada unsur riba, semua harus transparan.
Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kota Salatiga akan mengedrop puluhan ternak sapi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Dusun Ngronggo, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Salatiga. Keberadaan sapi di TPA diharapkan dapat mengurangi sampah organik rumah tangga. Rencananya, untuk tahap pertama, jumlah sapi yang akan dipelihara di lokasi tersebut sebanyak 50 ekor dan diserahkan kepada pemulung dengan sistem gaduh. Seperti halnya tempat pembuangan akhir sampah di beberapa daerah lainnya, di Ngronggo akan digaduhkan sapi pemakan sampah kepada para pemulung yang mengais rezeki di tempat tersebut.
Keberadaan sapi di TPA Ngronggo setidaknya dapat membantu mengurai sampah organik dari rumah tangga. Sebab berdasarkan pengamatan dinas DPLH, sampah organik rumah tangga merupakan bagian terbesar sampah yang ditampung di TPA itu. Sapi itu akan membantu mengurai sampah, meskipun tidak semua sampah organik dapat dikonsumsi sapi. sistem gaduh yang dipercayakan kepada para pemulung tidak lain untuk meningkatkan pendapatan mereka. Di sisi lain, sistem bertujuan pula untuk membangun kebersamaan dengan pemulung yang kebanyakan merupakan warga Dusun Ngoronggo.
Selain meningkatkan taraf hidup para pemelihara, si investor ataupun masyarakat yang lainnya dapat menikmati hasil dari sistem gaduh ini. Hal-hal yang seperti ini mungkin belum masyarakat yang mengetahui. Pemerintah seharusnya dapat menangkap fenomena pertukaran yang terjadi didalam masyarakat.
Dalam perjanjian gaduh sapi antar investor dan sipengelola akan terjadi komunikasi antarpribadi, kedua belah pihak akan mencari keuntungan-keuntungan yang bisa mereka dapatkan, biasanya akan terjadi masalah apabila sapi yang diternakkan mati. Apakah sapi itu mati dengan wajar atau kelalaian dari si pemelihara, permasalahn-permasalahan seperti inilah yang harus dibicarakan dari awal perjanjian.

PENTINGNYA SISTEM GADUH DI MASYARAKAT
Peran pemerintah dalam mensejahterkan masyarakat sangat penting. Sistem ini dapat digunakan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pada masyarakat pinggiran kota, khususnya di tempat pembungan sampah, seperti di Bantar Gebang bisa menggunakan sisitem ini.
Para pemulung-pemulung, selain mereka memulung sampah yang masih bisa digunakan atau didaur ulang, mereka juga bisa beternak untuk menambah pendapatan keluarganya, perubahan-perubahan taraf hidup untuk menjadi lebih baik merupakan keinginan setiap orang. Pemerintah dapat memberikan dana atau membeli sapi-sapi tersebut untuk dipelihara oleh sipemulung. Begitu pula pada masyarakat pedesaan, terutama para petani penggarap, para petani yang seperti ini tidak mempunyai usaha sampingan.
Dengan sistem gaduh ini para petani bisa mendapatkan tambahan dana untuk kehidupannya. Pada penerapan sistem ini yang harus pertama dilakukan adalah perencanaan yang tepat, apakah pesan yang disampaikan bisa dimengerti oleh sasaran. Pemerintah dapat mensosialisasikan sistem ini kepada masyarakat luas, khususnya para investor yang ingin bergerak dibidang peternakan.
Selain dapat menguntungkan para investor tersebut, para pemelihara binatang ternak tersebutpun bisa mendapatkan uang tambahan. Pada konsep pertukaran dicari adalah bagaimana kedua belah pihak yang saling terkait bisa mendapatkan keuntungan tanpa ada celah yang salah satunya merasa dirugikan.
Pada saat zaman Soeharto sistem ini pernah dicoba melalui mekanisme inpres, banpres, dan IDT (inpres desa tertinggal) tetapi tidak berjalan dengan baik Tetapi di lapangan tidak bisa berjalan bagus karena belum ada instrumen aturan yang cukup mapan.
Dengan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan yang lalu, pemerintah pada saat ini sebaiknya belajar untuk mengoptimalkan sistem gaduh ini. Selain dapat mensejahterakan rakyat, pemerintah tidak akan rugi karena hasil dari sapi yang digaduhkan tersebut dikembalikan kepada pemerintah, pemerintah dapat menyalurkan system gaduh sapi ini bias kepada organisasi-organisasi masyarakat, ataupun per individu.

Baca selengkapnya......